Friday 26 January 2018

Mahalnya Sebuah Keteladanan

SALAM TEMAN-TEMAN. Mohon maaf Bella baru buka blog karena sebelumnya GA BISA DIBUKA! :( dasar memang #technoob, pemalas!

Oya, Bela itu sebenernya bisa serius (ya sudah tau ini mah), tapi bisa juga sengklek, bisa malu-maluin dsb. Jadi, tergantung kalian lagi dapet bagian mananya. Nah, tulisan di bawah, bisa dibilang cukup serius. He he. Ya sudya. Selamat menikmati!


Beberapa minggu ini, pikiran saya terganggu dengan sebuah foto berisi kata-kata yang diunggah oleh guru matematika saya semasa SD. Beginilah kata-katanya;
            “Jika anak kita tidak suka membaca, berarti kita belum berhasil membuatnya terpesona dengan buku.
            Jika anak kita susah disuruh salat lima waktu, berarti kita gagal membuatnya terpesona dengan Allah.”

            Semasa SMP, ada salah seorang guru yang membuat saya terkagum-kagum, dan tertarik untuk mengenal lebih dekat tentang agama. Beliau adalah guru yang pertemuannya selalu sangat dinanti-nanti oleh anak-anak, karena begitu berkesan, begitu dalam, tapi ringan dan sangat membumi. Beliau adalah orang yang gerakannya sigap dan cekatan, senang bercanda dan rajin menangis. Wajahnya teduh dan matanya bengkak.
Kenapa lantunan azan, doa, dan bacaan Qur’annya, begitu menyentuh hati, terdengar begitu tulus dan bersungguh-sungguh?
Saya terpesona mendengar bacaannya pada dini hari, bacaan penuh isakan di kegelapan. Kami tahu, beban hidupnya berat. Beliau nampaknya sangat menghargai waktu dimana murid-murid belum datang ke masjid, waktu dimana beliau dapat mencurahkan apapun yang ia inginkan dalam salat. Dimana beliau dapat berduaan saja dengan Sang Khalik. Kami yang mendengar dan melihat, merasa, kayaknya nikmat sekali…

Pertanyaannya, apakah ada orang yang sudah membuatmu terpesona terhadap kehadiran Sang Khalik dan ayat-ayatnya?
Jika belum, saya berdoa semoga kita dapat dipertemukan dengan orang seperti itu. Namun, jika menunggu saja rasanya tentu saja kurang tepat. Selayaknya, kita mencari. Berusaha.

Saya ingin sekali, anak-anak saya, jika diamanahkan oleh Allah swt., paham dan teguh mendirikan salat lima waktu dan salat sunnah-sunnah lainnya. Namun, kata-kata yang diunggah guru saya itu membuat saya berpikir; bagaimana membuat mereka terpesona kepada Allah swt., jika saya sendiri belum terpesona? Jika saya sendiri belum mencari, lalu, menemukan?

Karena, prosesnya, sampai logika ini tercengang menyadari sesuatu dan kemudian yakin, saya membutuhkan waktu bertahun-tahun penuh naik-turun. Persoalan hati dan percaya terhadap hal-hal yang penjelasannya agak samar, tidaklah begitu rumit. Namun, logika?

Saya sekuat mungkin menghindari bacaan-bacaan yang dulu sering saya baca dan membuat saya mempertanyakan banyak hal, yang terkadang dapat membuat rasa percaya saya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan dan agama, hilang. Namun, meski sudah menghindar, saya masih saja tergelitik dan akhirnya terpapar hal-hal semacam itu dan dapat kembali kehilangan kepercayaan, sekitar empat sampai lima kali dalam setahun. Dalam masa iman saya sedang tidak goyah, seringkali dalam lubuk hati saya was-was, khawatir saya akan berada kembali dalam keraguan dan ketidakpercayaan. Sampai akhirnya lingkaran melelahkan itu berhenti, tanpa saya rencanakan, tanpa saya prediksi. Hal yang saya syukuri.

Dan ya, butuh proses yang panjang sekali!


Rasanya, mengajarkan, jauh lebih mudah, dibandingkan menghidupi ajaran itu sendiri. Mengajarkan, seringkali kita hanya perlu memahami ajaran, menyetujui kebaikannya dan menyampaikannya kepada orang lain.

Namun menghidupi suatu ajaran, menjadi sosok yang dapat diteladani, tidak semudah itu. Saya masih mengagumi guru saya, yang perilakunya sehari-hari, yang pribadinya sendiri, sudah memberikan penyadaran dan pelajaran yang membuat siapapun yang melihatnya merasa, betapa indahnya mengenal Sang Pencipta itu. Hal yang saya impikan.

Serang, 25 Januari 2018.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Powered by Blogger.