Wednesday 4 May 2016

Anxious at Time.

Bahwasanya perjalanan, ialah ujian.
Bukan permainan.
(Kok kayak lagu)

Aku menengok saat terjadi pembicaraan antara dua orang bapak. Yang satu baru saja datang saat bus yang kunaiki singgah di pemberhentian di Krapyak. Dan bapak yang satunya lagi. Ternyata menduduki kursi jatah bapak yang baru datang. Si bapak yang satunya lagi pun pindah. Dan bapak yang baru datang pun duduk. Perhatianku tersedot pada tas yang ia rengkuh diantara kedua tangannya, tas laptop hitam yang penuh dan cukup besar. Jelas isinya bukanlah laptop. Kenapa tidak dimasukkan bagasi? Pikiranku langsung melayang pada... Bom.

Astaga.
Pikiranku yang tadinya runyam, karena televisi di bagian depan bus yang tanpa henti memutar rekaman video konser tembang Jawa dengan biduan berrok mini dan suara centil yang melalaikan, dipadu dengkuran seorang Bapak anonim yang membuatku bergidik( Ah. Dengkuran kuranglah tepat, ngorok, ya, itu lebih pas!)... Perlahan mulai terfokus.


Bus kan tidak pakai sistem pengecekan barang bawaan seperti di pesawat. Bahkan, berat maksimal bagasi perorangan yang menurut ketentuan tertulisnya tidak boleh lebih dari sepuluh kilogram, cuma hoax belaka.

Aku langsung ngeri. Aku belum mau mati, Pak, Bapak siapa, ngajak-ngajak? Nanti oleh-olehku bagaimana? Hah, aku langsung terbayang ceret lukis yang baru kubeli untuk Papah... Ada diantara abu, masih berasap namun cukup utuh untuk dijadikan objek foto para wartawan untuk headline koran mereka.

Naudzubillah.

Aku membayangkan serpihan dagingku, merah, berserakan. Astaga.
Aku ingin sekali menanyainya perihal isi tasnya...

Ketika berangkat, jujur saja, aku tidak khawatir. Aku berangkat dengan kereta dan ketakutan terbesarku ialah mengenai tasku dan barang-barang berharga didalamnya.

Sedihnya, kemarin saat aku hendak membeli tiket kereta Solo-Serang du Stasiun Purwosari untuk hari ini, semua sudah ludes. Berhubung tidak ada kereta ke Serang dari Stasiun Balapan, aku yang bersepeda tepat setelah dzuhur, menyesal, lantas bersepeda lagi menuju terminal Tirtonadi yang... Yah, tidak dekat, ditambah lagi baterai handphoneku yang hampir habis sehingga aku tidak tega menggunakan google map. Jadilah aku nyasar-nyasar. Ntaps biez.

Membeli tiket bus adalah perjuangan, apalagi di terminal yang tidak kamu kenal, apalagi dengan BANYAKnya calo yang menyambut saat kamu memasuki pintu utama, apalagi saat kamu tidak bisa berbahasa Jawa dengan lancar, apalagi saat kamu sendirian secara fisik.

-

Sekarang. Ketika pulang menaiki bus, ya, aku kembali tersadarkan; perjalanan berarti mengambil resiko kemungkinan mati di tengah orang asing.

-

Aku pun agak takut, tulisanku ini jika hanya disimpan di notes handphone, maka saat busnya meledak... Tulisanku ikut terbuang, sia sia, bersama handphone yang remuk.

-

Dari Bella yang menitip doa.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Powered by Blogger.