Mahalnya Sebuah Keteladanan
SALAM TEMAN-TEMAN. Mohon maaf Bella baru buka blog karena sebelumnya GA BISA DIBUKA! :( dasar memang #technoob, pemalas!
Oya, Bela itu sebenernya bisa serius (ya sudah tau ini mah), tapi bisa juga sengklek, bisa malu-maluin dsb. Jadi, tergantung kalian lagi dapet bagian mananya. Nah, tulisan di bawah, bisa dibilang cukup serius. He he. Ya sudya. Selamat menikmati!
Beberapa minggu
ini, pikiran saya terganggu dengan sebuah foto berisi kata-kata yang diunggah
oleh guru matematika saya semasa SD. Beginilah kata-katanya;
“Jika anak kita tidak suka membaca,
berarti kita belum berhasil membuatnya terpesona dengan buku.
Jika anak kita susah disuruh salat
lima waktu, berarti kita gagal membuatnya terpesona dengan Allah.”
Semasa SMP, ada salah seorang guru
yang membuat saya terkagum-kagum, dan tertarik untuk mengenal lebih dekat
tentang agama. Beliau adalah guru yang pertemuannya selalu sangat dinanti-nanti
oleh anak-anak, karena begitu berkesan, begitu dalam, tapi ringan dan sangat
membumi. Beliau adalah orang yang gerakannya sigap dan cekatan, senang bercanda
dan rajin menangis. Wajahnya teduh dan matanya bengkak.
Kenapa lantunan azan, doa, dan bacaan Qur’annya, begitu
menyentuh hati, terdengar begitu tulus dan bersungguh-sungguh?
Saya terpesona mendengar bacaannya pada dini hari, bacaan
penuh isakan di kegelapan. Kami tahu, beban hidupnya berat. Beliau nampaknya
sangat menghargai waktu dimana murid-murid belum datang ke masjid, waktu dimana
beliau dapat mencurahkan apapun yang ia inginkan dalam salat. Dimana beliau
dapat berduaan saja dengan Sang Khalik. Kami yang mendengar dan melihat,
merasa, kayaknya nikmat sekali…
Pertanyaannya, apakah ada orang yang sudah membuatmu
terpesona terhadap kehadiran Sang Khalik dan ayat-ayatnya?
Jika belum, saya berdoa semoga kita dapat dipertemukan dengan
orang seperti itu. Namun, jika menunggu saja rasanya tentu saja kurang tepat.
Selayaknya, kita mencari. Berusaha.
Saya ingin sekali, anak-anak saya, jika diamanahkan oleh
Allah swt., paham dan teguh mendirikan salat lima waktu dan salat sunnah-sunnah
lainnya. Namun, kata-kata yang diunggah guru saya itu membuat saya berpikir;
bagaimana membuat mereka terpesona kepada Allah swt., jika saya sendiri belum
terpesona? Jika saya sendiri belum mencari, lalu, menemukan?
Karena, prosesnya, sampai logika ini tercengang menyadari
sesuatu dan kemudian yakin, saya membutuhkan waktu bertahun-tahun penuh
naik-turun. Persoalan hati dan percaya terhadap hal-hal yang penjelasannya agak
samar, tidaklah begitu rumit. Namun, logika?
Saya sekuat mungkin menghindari bacaan-bacaan yang dulu
sering saya baca dan membuat saya mempertanyakan banyak hal, yang terkadang
dapat membuat rasa percaya saya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
Ketuhanan dan agama, hilang. Namun, meski sudah menghindar, saya masih saja
tergelitik dan akhirnya terpapar hal-hal semacam itu dan dapat kembali kehilangan
kepercayaan, sekitar empat sampai lima kali dalam setahun. Dalam masa iman saya
sedang tidak goyah, seringkali dalam lubuk hati saya was-was, khawatir saya
akan berada kembali dalam keraguan dan ketidakpercayaan. Sampai akhirnya
lingkaran melelahkan itu berhenti, tanpa saya rencanakan, tanpa saya prediksi.
Hal yang saya syukuri.
Dan ya, butuh proses yang panjang sekali!
Rasanya, mengajarkan, jauh lebih mudah, dibandingkan
menghidupi ajaran itu sendiri. Mengajarkan, seringkali kita hanya perlu
memahami ajaran, menyetujui kebaikannya dan menyampaikannya kepada orang lain.
Namun menghidupi suatu ajaran, menjadi sosok yang dapat
diteladani, tidak semudah itu. Saya masih mengagumi guru saya, yang perilakunya
sehari-hari, yang pribadinya sendiri, sudah memberikan penyadaran dan pelajaran
yang membuat siapapun yang melihatnya merasa, betapa indahnya mengenal Sang
Pencipta itu. Hal yang saya impikan.
Serang, 25 Januari 2018.
0 comments:
Post a Comment