Thursday, 25 August 2016

YGY #4 : Pengibaran di Tengah Laut, dan 136 Kilometres Spent Alone.

Iya, ini sudah tanggal 25 Agustus. Hehehe.

So, my dear fella, my day during the Indonesia’s Independence Day last week, was a mixed tape of curiosity, a bit of adrenaline(well, maybe a lot…), joy, and tears. 


No filter needed.


Jadi, pada tanggal 16 Agustus malam, aku nggak tahu besok mau ikut upacara pengibaran dimana. Tomorrow, I’ll be free from dawn to 3 PM, so, it would be such a regret if I didn’t attend any ceremony. Aku di Jogja dan nggak punya ide tempat mana yang upacara pengibarannya terbuka untuk umum. 

Tapi, aku pengen ikut banget. Aku kangen upacara bendera. Aku ingin denger pidato yang bikin hati nyes lagi. Huhu.

Jadi, aku searching, nanya ke teman-teman, kakak-kakak dan teman papahku. Teman Papahku memberitahu ada upacara di Istana Negara Yogyakarta—namun nggak terbuka untuk umum. MASA AKU CUMA BISA DENGER SUARANYA DARI TEMPAT PARKIR? Nooo way! So, aku cari info lagi di internet, dan aku coba kata kunci yang berbeda dan turns out aku nemu ini…





Like the only agenda I found.
Pantai Baron? Pengibaran bendera di tengah laut? Oh my God! Sounds like my kind of thingy! 

Dan orang umum boleh ikut berenang ke tengah lautnya, mengiringi pasukan pengibar bendera? Oh my God…! It must be a sign!
 

Katanya, registrasi peserta dibuka sejak jam enam hingga jam setengah sembilan pagi. Nah, sebelum lihat lokasi di google map karena nggak punya clue itu tempat dimana, aku tanya ke kakak angkatanku, 

“kak, ini jauh sekali ga sih?”  
 dan dia jawab, “itu jauuuuuh, bel. *nangis*”


Hmm. Aku gantian nanya ke tante aku. Katanya,  
“nggak jauh, nggak dekat.” Dan aku memutuskan untuk berpegang pada kalimat ini, hahaha.

Ketika aku cari di google map, ternyata jaraknya 63 kilometer dari tempatku. LIKE WHAT?! *nangis beneran* it must be a very crazy idea to go there. 

Katanya, aku butuh waktu satu jam 47 menit kesana. But you know, it's tricky, it's almost always impossible buat nyamain waktu tempuh dengan yang dikatakan google map. It means, aku harus berangkat pagi sekali bahkan habis subuh jika ingin mengejar registrasi… 

Kemudian, aku cari teman… but turns out nobody can accompany me :( Well there is one, tapi dia baru ada paket pada siang hari, jadi dia telat baca pesanku. I know. I know. Huft.


Aku melihat kata Wonosari di salah satu dari tiga pilihan jalan yang bisa aku lalui, dan kebetulan seorang temanku asli sana. So I asked him and he suggested me to go through Wonosari. Okay, I’ll take that. 

So… 63 kilometer through places I haven’t even heard before? 

Huh... for any sake, my Mama and Papa wouldn’t let me. *sigh* but if I come out with a news for koranrumahdunia.net … aha, won’t it make Papa happy? Teehe… let’s make it a surprise!

Aku tidak bawa powerbank, dan kuota juga tipis seperti helaian tisu. Maka aku beli kuota lima ratus megabyte, menyiapkan baju ganti, buku pelajaran (karena pulangnya langsung belajar), alat mandi, handuk, sunblock, etc. 

Ya Tuhan, aku bahkan nggak bawa jaket dan celana training! The only available pants I got is just jegging! How am I supposed to swim? Huhu. *teteppacking*

Well, I'll go at five past 20. So I make sure everything was packed perfectly, I have listed the navigation google map gave me, I have memorised the turns, the road’s name, the patokan I could hang on… and I go to sleep, even though I found it was hard. I wish my Mama’s prayers will accompany me unlimitedly. Even thou she didn’t know. Huft.


At 4.30, in Jogja it’s already azan. I woke up and without taking a shower, I pray. It takes me until 5.16. Untuk keridhaan, keselamatan, keberkahan, hikmah dari perjalanan, dan jangan sampai aku melukai satu binatang pun. Hazek yaw.

Then I exchange my pajamas into three layer of clothes (no jacket I bring, remember!) and without drinking even a drop of water(I know, so bad), I’m ready to go!

BUT THEN LIKE I CAN’T FIND ONE ESSENTIAL THING. It was my motorbike’s key. Oops, haven’t I told you that I was going to ride my motorbike, ya? Well, now you know.

I look for it anywhere in my room. Aku geser lemari, aku angkat kasur, tiap helai baju aku kibas-kibasin… but it’s lost. It was the first time I lost it. Ini pasti kualat karena nggak izin.
Sampai jam 5.45, aku masih belum menemukannya. Itu akudah hampir desperate.

Then something crossed in my mind, maybe it’s in the lounge. But I didn’t even stop there to have a drink when I come home at night? But let’s give it a try.

So I went there and it’s there, my key, existing peacefully on the lounge’s table. Like, how could you, argh, forget it...
So in a rush, I go!

( My darling, later then I found that after Subuh, it was a bad time to hit the road. Especially if I’m going to Wonosari. My friends and my teacher said that there may be begal. So… it was God’s hands that take very good care of me in a way I could never imagine. Ah. )


So for short, the road was not empty nor crowded during the big road, so I had no problem there. But after I went to enter the road leading to Wonosari… the road was like a mixed shape of punuk unta, ular, perosotan, dan what else ya, I forget. Plus, haze. Kabut. Like oh my God. I was terrified because itu jalanan gunung sekali. Ya Allah, Pak Rossi hebat sekali ya. Oh my my my.


 Foto diambil saat jalanan landai.


Kiri pepohonan, kanan you know lah… agak-agak jurang gitu. Tapi jalanannya mulus, syukurlah. Huft. Sering sekali saking jalanannya naik-turun aku nggak bisa lihat jalan/kendaraan didepanku. 

Aku jadi selalu keingetan cerita Papah tentang temannya semasa muda, yang meninggal karena tertabrak truk. Saat itu, almarhum tengah ramai-ramai momotoran sama teman-teman satu komunitasnya di jalan gunung aka puncak or bandung, then tahu-tahu muncul truk… na’udzubillah. 


There are times I have to stop and ask the locals, or (not oftenly) check the map. Karena mengambil handphone, buka kunci dan cek google map itu agak ribet, jadi aku lebih sering Tanya ke orang lokal.


But just so you know, nggak semua orang dapat menunjukkan jalan dengan terang. *Hazek.* Jadi suatu saat, setelah sebuah perempatan dan aku memilih lurus, ada keinginan untuk nanya ke orang. Sekitar tiga ratus meter setelahnya, ada Mbak-mbak. Aku Tanya ke Mbaknya, Pantai Baron dimana ya Mbak? Lalu, dia menjawab dengan ribeeeut, aku sampai bingung. Ya udah, aku cek di google map, dan ternyata aku tinggal putar arah, kembali ke perempatan itu dan belok kanan. (Tapi dari situ masih ja-uuuh-lagi sih.) Haah! Beberapa kali aku mengalami hal ini.

Btw, aku dua kali tersesat cause I'm not good at reading maps. Hehe.

Nah, you can see the one I mark with pink shade. Itu saat aku nyasar.


But just so you know, jalanannya indah sekali. Perjalanan dengan pemandangan paling indah yang pernah aku lewati. Indeed, man. Karena sejak perempatan itu, hari mulai siang, dan sudah tidak ada kabut lagi. Kamu tahu golden hour, kan? Wah, aku serasa di jepang waktu itu. Banyak pohon-pohon guede berjejeran dengan indahnya. Aduh ah, pengen foto gapunya temen, huhu.

Ya sudah, ceritanya di jok belakang sekarang duduk seorang ibu—pedagang di Pantai Baron yang kutemui di tengah jalan. Aku menanyakan jalan padanya dan turns out ibu itu ikut, deh.

“Stop, Mbak!”
“Sudah sampai, Bu?”
“Udah!”
Nyes. I made it?

OMG SO HERE I AM IN PANTAI BARON!

Pantai Baron sudah ramai! Aku menanyakan dimana gedung SAR, lalu aku kesana, dan yhaq sudah ramai sekali.



 Ada tiga meja registrasi, satu untuk peserta yang ikut berenang, satu untuk peserta yang mengikuti di pesisir pantai, satu lagi untuk penyewaan pelampung. Aku mendaftar di meja pertama, dan pergi ke meja penyewaan pelampung, yang ternyata sudah habis. Yha. Berarti aku hanya bisa mengikuti dari lapangan, dong? :< 

 
Kemudian, aku pergi ke kamar mandi dan mandi.

Ketika selesai, aku kembali ke meja registrasi, menanyakan jam berapa harus berkumpul. Lalu, mas-mas dari meja penyewaan pelampung yang berbaju tentara memanggilku. Aku menghampirinya. “Nabila, kamu dari Banten, ya?”

Ternyata si Mas-mas itu baru datang dari Jakarta. Namun sebenarnya dia orang Jogja, pun berkuliah di UAD (Universitas Ahmad Dahlan). Ia menanyakan plat motorku, apakah AB? Tidak, kataku, lalu dia berguyon. Lucu juga. Namanya Mas Giofani. 

Beliau kaget katanya, saat tahu aku sendiri kesini. Sama kok, aku juga kaget. 

Lalu, Mas Gio menyarankanku untuk mencoba ke gedung SAR yang ramai sekali itu dan meminjam satu pelampung dari sana, siapa tahu ada. Namun ketika aku baru sampai ke pintu gedung, tahu-tahu Mas Giofani sudah di belakangku dan memberiku rompi. Yay! Thank you Mas’e!


So I came back to the penyewaan pelampung tents, dan Mas Giofani menyarankanku untuk naik perahu saja, karena aku naik motor, kalau ikut berenang takut aku terlalu capek buat mengendarai motor pulang. Apalagi saat ia tahu aku mau motrat-motret dan memang sudah motrat-motret banyak sekali. That was right, batinku. Apalagi saat kulihat kenyataannya, dua ratus meter ke tengah laut… lumayan juga. Hehehe. I haven’t thank you so epicly much, Mas Gio! 

Mas Giofani, if you saw this, please contact mee. You haven't take your pics from my phone. It's still there :'D

Kemudian, para peserta upacara berkumpul di depan gedung SAR. Disana, seorang pemimpin dari SAR memberikan arahan yang penting sekali untuk kami ketahui.




Kemudian, setelah arahan selesai, aku ke pantai, memotret para petugas upacara di pesisir pantai yang sedang bersiap-siap.





Lalu, Mas Giofani mengajakku caw ke perahu. Aku ditempatkan di atas perahu bersama dua orang nelayan, namanya Pak Kustamin kalau tidak salah, lalu Mas Ketut, dan seorang wartawan dari Klaten, kalau tidak salah namanya Pak Nus. Hanya dua orang peliput yang boleh naik ke satu perahu. Karena, jika ada peserta yang ikut berenang ke tengah laut yang kelelahan atau kenapa-kenapa, mereka akan dinaikkan ke atas perahu ini. 

Oh iya, ternyata ya, acara Upacara Pengibaran di Tengah Laut ini wajib diikuti oleh perwakilan dari para nelayan dan pedagang setempat! Di pesisir pantai, masuk rombongan marching band dari sekolah dasar lengkap dengan kostum, ramai sekali. Belum lagi rombongan dari SMK Kesehatan dan SMA 7 kalau tidak salah, yang memang menjadi salah satu petugas upacara. Dan lagi ada pasukan tentara gitu.

Tempat upacara di pesisir pantai untuk perwakilan dari para pedagang.


Upacara Pengibaran di Tengah Laut ini sudah pernah dilaksanakan di tahun 2015, dan tahun ini adalah tahun kedua dilaksanakannya. Me so grateful can attend this. Huhu. 

“Ketika Proklamasi Kemerdekaan mulai dibacakan, tolong perahu mulai didorong, ya, Pak!” 

 Pinta seorang Bapak lantang-lantang, pada para nelayan. Aku ingiiiiin sekali ikut mendorong perahu, apalagi perahu yang berat itu hanya didorong dua orang nelayan! Kan kasihan. Tapi setelah dipikir-pikir, aku nggak tahu dorongnya bagaimana dan kemana, dan aku nggak membungkus handphoneku dengan plastik seperti para nelayan, aku tidak ikutan, deh.

Teman-teman, ombak yang tadinya kecil-kecil, mulai besar-besar. Jadi tinggiii… sekali. Ya Allah, ketika perahu mulai didorong oleh Bapak dan Mas Nelayan itu, lalu perahu mulai masuk ke air dan melawan ombak dan angin, itu terasa sekali kemegahan alamnya. 

Mas Ketut. (Bukan orang Bali.)

Pak Nelayan yang sudah 26 tahun menjadi nelayan.

 Mas-mas yang bantu dorong perahu.


Pantai Baron berbentuk seperti ceruk, di kanan-kirinya dataran tinggi dengan semak-semak dan pepohonan yang hijau dan sejuuk sekali dilihatnya. Sementara bagian bawahnya, terukir berbagai macam lekukan yang… apa ya, magis, begitu? Hahaha.

Mercusuar putih menjulang di kiri. Aku yang ketakutan, hehehe, karena ombaknya bagiku tinggiii, secara refleks menyebut puji-pujian. Antara takut tapi lebih karena kagum. Pemandangan yang terbentang di sekelilingku indah sekali.
Mas Ketut sang nelayan muda berkulit kecoklatan dan sorot mata tajam (Hazek.), berdiri di moncong perahu, serius sekali melihat ke depan. Aku dan Pak  Nus berpegangan pada samping perahu sambil menjaga barang elektronik kami dari cipratan air.



 
Ombaque.

Akhirnya, mesin dimatikan. Perahu kami bersama perahu-perahu lain dan beberapa speedboat, terayun-ayun di tengah laut.

Aku mendengar pelaksanaan upacara dari pesisir pantai. Lalu, dibacakanlah Pancasila. Dan sila kelima, membuatku termenung.

"Lima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Yang mana belum tercapai. Bahkan kadang, dikhianati. Kami sengaja melaksanakan ketidakadilan sosial itu bagi manusia lain.

That was deep.


Itu dulu, ya. Ya, ceritanya memang cukup panjang.
Salam pengembaraan (HAZEEEEEK),
 
Bella.

Saturday, 13 August 2016

YGY #3 : Mata Aksara

Yha, met malem temen-temen! So tonight, aku masih stay di wifi café nearby. And it’s Saturday night tho. I KNOW, THE WIFI CAFÉ ISN’T SOO CROWDED BECAUSE MANY PEOPLE GO ON DATES. And here I am dating mi laptop. Alhamdulillah.

So lemme tell ya gimana tadi aku and some people visiting TBM Mata Aksara dalam rangka acara Gemar Makan Ikan.  Btw, TBM adalah singkatan dari Taman Bacaan Masyarakat. Which ez, very cool.



TBM Mata Aksara ini terletak di Jakal alias Jalan Kaliurang Km. 14,5, Yogyakarta. Di TBM Mata Aksara ini, ada perpustakaan yang tempatnya multifungsi, bisa sebagai tempat diskusi, rapat, tiduran, tempat bermain anak-anak, tempat belajar, tempat membuat kerajinan, dan sepertinya masih banyak lagi!


Bu Heny, perintis TBM Mata Aksara, bersama dengan suaminya, Pak Adi. Keduanya orang hebat, euy.

Dan inilah foto dari salah satu sudut perpustakaan yang dimiliki TBM Mata Aksara.



Dan for your info ya, buku-bukunya hazek banget! The kind of books I haven’t read and eager to read. :’) You mention kumpulan cerpen peraih penghargaan nobel, ensiklopedi americana, et cetera.  
And I’m not visiting alone, mi have mi very awesome fellas around, Kak Fathan Mubin, Atikah Az Zahidah, Kak Rahma, Kak Rara, Kak Icin, Kak Bille, Kak Ra siapa lagi gitu da aku lupa huee. Kecuali Atikah, semua kakak-kakak itu dari komunitas Celengan Berbagi, komunitas kepedulian social yang digerakkan oleh mayoritasnya, mahasiswa dan mahasiswi. And Kak Fathan itu ya penggagasnya.
And Atikah, finally, we meet in real life after being such good friends via online! Toel Sasa. Atikah is a Pink Berry Club writer lho.

I am thinking about writing in one language in one post, all in Indonesian... but since I’ve wrote this long biarkan saja ya kali ini. 

So about the acara Gemar Makan Ikan, acara itu adalah acara tahunan. Tahun lalu, acara GMI juga digelar. Tahun ini, adalah Kakak-kakak dari Universitas Sanata Dharma yang sedang KKN di Mata Aksara, yang membuat dan mengajukan proposal GMI ke Dinas Kelautan untuk meminta bantuan dalam mendanai acara Gemar Maka iIkan. Yeaaay..

Dan ternyata, Kakak-kakak ituu adalah mahasiswa program studi PPGT PGSD.PPGT  PGSD: Program Peningkatan Guru Terintegrasi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.  Berasal dari NTT, karena program PPGT diprioritaskan untuk daerah 3T: Terdepan, Termiskin, Terbelakang. Mereka semuanya dari NTT (Kab. Manggarai, Flores, Ende, Lembata).


Jadi, daerah tempat TBM Mata Aksara berada bernama Ngemplak dan terkenal sebagai daerah penghasil ikan air tawar. So, dalam acara ini, TBM Mata Aksara, Dinas Kelautan dan Kakak-kakak KKN dari Universitas Satya Dharma  bekerja sama untuk menyiarkan bahwa makan ikan itu sehat, enak, sampai ke tips-tips cara memilih ikan yang segar, dan bukan hanya itu—menyediakan PANGANAN DARI BERBAGAI MACAM IKAN LAUT SECARA GRATIS! D’AAAWW!

I found that so enchanting. Karena untuk meningkatkan mutu seorang individu, tidak cukup hanya dengan asupan ilmu pengetahuan dan pembinaan karakter. Otak kita juga butuh nutrisi, tubuh kita juga butuh makanan sehat penuh gizi! Dan ikan, adalah salah satu bahan makanan yang manfaatnya banyak banget kan dan katanya sih, bisa bikin pinter!

Percaya nggak?

Aku sih pernah ngebuktiin, lho, tepatnya secara tidak sengaja, sih. Jadi, mamahku itu tipe orang yang suka beli ikan aneh-aneh. Dalam seminggu, Mamah bisa hanya memasak ayam satu kali di rumah. Lainnya? Ikan.

Dan suatu hari, selama sekitar lima hari berturut-turut, aku makan ikaaan melulu. Dan kamu tau? Aku ngerasa pelajaran cepet masuk ke otak aku. Dan temen-temen aku sampai pada bilang, “Bella abis makan ikan.” Saking aku ngeh-nya sama pelajaran, hahaha. Padahal mereka nggak tahu kalau aku beneran makan ikan selama lima hari berturut-turut. HAHAHA.

Enough my curhat time.

Oh iya, pertamanya kami mempraktikkan senam ikan-ikan gitu, hahaha. Terus ada berbagai game dengan hadiah baju.  

Dan bahkan, ada kameramen dari Kompas TV yang meliput, lho! Aku masuk TV, nggak ya? Haha.

Panganannya juga macam-macam: Ikan tuna yang dimasak dengan berbagai cara, mulai dari dibumbu lengkap, disambel, dibuat sup, lalu ada pempek (YESS), ada siomay, ada nugget ikan, ada juga berbagai sayur mayur dan berbagai saus dan sambal! Ini sih rezeki. 😂











Menyediakan panganan berbagai macam ikan laut segar untuk warga dan anak-anak sekitar, selain setiap harinya memfasilitasi tempat pertemuan, perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang membuat mata berbinar *hazek*, memberikan kesempatan dan tepuk tangan bagi anak-anak untuk tampil ke depan, berbicara, bernyanyi, menari… ah, bisa lebih lovely dari itu nggak, sih?

Bisa, lho.
I feel the connection, between people there. The mothers, the pengurus’ers, the volunteers, the childrens. The place itself. I feel the bond.
(apa aku terlalu baper)



Happy boys is happy.


Sepertinya itu dulu, ya, ceritaku.

I wish you somewhere have a wonderful and happy day,
Bella.





Sunday, 7 August 2016

YGY #2: Blissful Kaliurang

Caution: lebih baik baca postingan sebelumnya ya, supaya nggak have no idea what I'm talking about.

Hello fella! Back to perjalanan menuju rumah Bu ari! By the way, aku tidak bawa oleh-oleh apapun untuk keluarganya, lho😭. Tidak sempat, hiks. Akhirnya aku merencanakan mau beli oleh-oleh di Pasar Pakem saja. Ini jangan ditiru ya, dan di jalan aku juga asa ngga enak... Lha aku nih gimana, masa orang situ dibeliin makanan situ juga ya? Stupid I was. Tapi bagaimana dong?

Selama perjalanan, yang naik ke mobil elf mayoritas ibu-ibu dan nenek-nenek yang kebanyakan membawa barang dagangan mereka. Oya, elf yang kunaiki hanya sampai pasar pakem.

Salah satu penumpang di depanku, seorang nenek yang membawa keranjang. Aku mengobrol dengannya dan ternyata beliau membawa telur-telur ayam kampung dan telur bebek untuk dijual di pasar Pakem. Ia menjualnya seharga 1500 atau 2000 rupiah gitu, maafkan yaa aduh aku nggak mengingatnya baik-baik. Itu muraaah sekali mengingat harga di pasar saja 3000 sampai 3500 rupiah.

Akhirnya aku beli lima telur ayam kampung dan lima telur bebek. Tapi temen-temen, alangkah bagusnya ya kalau kita beli dengan lebih manusiawi, sekaligus mensupport pedagang lokal. Mereka mah ngambil untung cuma beberapa ratus perak saja, nggak kayak di mall yang berlipat-lipat. Jadi, ditambahin aja. Masa kalau beli di mall hayuk hayuk aja, tapi giliran di pedagang kecil nawarnya naujubile.

Back to tha story, lucunya si Ibu nggak bawa plastik dan begitupuun aku juga! Akhirnya, aku pakai beanie(kupluk) milik adikku yang kupinjam hehe sebagai wadah telur... :') Maafkhand daku ok.

Akhirnya aku sampai di Pasar Pakem! Aku turun sebelum gerbangnya. Lho, pasar sudah sepi dan pasarnya tidak sesuai ekspektasiku! Sangat amat sepi untuk pasar... jadi, aku nggak bisa beli apa-apa. *Nangis* ah, meski nggak lazim, untung juga yha aku beli telur tadi.

Lalu, aku pun menunggu Bu Ari menjemputku, karena katanya dari Pasar Pakem menuju rumah Bu Ari, nggak ada angkutan, hanya ada ojek dan nantinya cukup mahal! Dan jengjeng, datanglah Bu Ari dengan perut besarnya... (Saat itu Bu Ari belum melahirkan)

Menuju rumah Bu Ari, ternyata jalanannya makin naik gitu, yha iyalah mendaki gunung. Udaranya segar, dan ya gimana sih namanya juga gunung, ya?

DAN TERNYATA BU ARI BOHONG. Dari pasar Pakem ke rumah Bu Ari, jauh, coy. JAUH LIKE REALLY. Oya, aku juga melewati Taman Eden masa! Hehe, besutannya Lia Eden yang dulu sempat hip itu, lho. Ternyata ada dua tempat dan letaknya cukup berjauhan. Sekarang, kata Bu Ari, Taman Eden jadi hotel. Ada lagi yang jadi restoran.


Bu Ari memelankan motornya di depan sebuah rumah... sementara aku dalam hati sibuk merapal-rapal,
"Bukan yang ini, bukan yang ini, bukan yang ini.....,"

"Turun, gih, Bel!"
Serius Bu??????

Rumahnya lovely ba-nget! Kayak bentuk-bentuk rumahnya liliput, namun ukuran manusia gitu, awww. Dreamy! Tapi aku nggak mau pajang fotonya, yha. Aku pajang foto rumah-rumah yang aku kunjungi ketika aku jalan-jalan saja. And damn, mataku, paru-paruku, dimanja sekali disini...





I know! 💚 Green all da way!

Oh ya, perutku apalagi, aduh bukan dimanja lagi!



Kebetulan yang begitu menyenangkan(hehe), mertua Bu Ari sangat pandaaaaaaaai memasak! :'> Ah, pokoknya selama disana aku benar-benar merasa dimuliakan sekali 😭 Baik sekali ya ampun keluarganya Bu Ari, banyak yang nggak aku tulis disini...
Dan Ibu mertua Bu Ari bahkan dengan pengertiannya menerima oleh-olehku yang absurd itu...

Aku juga diajak jalan-jalan ke Museum Gunung Merapi yang ternyata tidak jauh-jauh amat(lho?) dari rumah Bu Ari, lalu ke Dagu Pandang, dan ketika jalan-jalan sendiri karena menunggu Bu Ari yang sedang mandi, aku juga menemukan Taman Wisata Kaliurang, whoaaaaa damn yeeeeeeeesssss!!!!!!! Asyiqueee banget! Dan lagi, aku masuknya gretongan, bo! Aku baru tahu dari obrolan Bu Ari dan Ibu mertuanya kalau orang-orang biasanya masuk lewat pintu depan dan harus membayar, namun aku masuk lewat pintu belakang dan asa-asa dikira orang lokal. Hohoho.






 TAMAN WISATA KALIURANG





Luas? Banget banget GIGILS.
Adem? Jangan dipertanyakan.
Luas? Eh udah ya.
Seru? Bangeeeeettttt! Sayang aku sendirian.
Foto-able? Lebih dari iya. Lebih dari BANGET.
Rame? Iya, tapi ramenya nggak padat! Pas, gitu!
Variasi tempat bermain? Banyaaaaaaaque!
Enak buat ngelamun? Sangat!
Kamar mandi? Banyak!
Kolam renang? Yo'i!
Outbond? Damn yeez!
Piknik? Hell yeaaaa!

Jadi selama di Kaliurang, aku bernafas aja kok rasanya bahagia, ya. Udaranya luarbiasa bersih dan segar. My kind of happiness.



Sebenarnya, dibalik semua kesuburan, kesejukan, kekayaan ini, ada cerita-cerita mengerikan yang menimbulkan trauma, guys.

 Perkakas makan yang diselimuti abu Merapi, koleksi Museum Gunung Merapi, Jogja, Indonesia.




Ibu  mertua Bu Ari menceritakan padaku saat Gunung Merapi hendak meletus, bagaimana sekeliling mereka diselimuti abu, bagaimana semua warga akhirnya harus mengungsi memakai truk-truk, bagaimana barang-barang tanpa daya harus ditinggalkan, bagaimana rasanya naik motor di tengah gempuran hujan abu dan ketika sampai tujuan sudah tidak bisa mengenali diri sendiri dan orang-orang di sekeliling mereka karena sudah seperti monster, diterpa air hujan lantas diselimuti abu sekujur tubuhnya...
It's even more more worse daripada yang aku ceritakan di atas. Mendengar cerita dari Ibu mertuanya Bu Ari membuatku merinding dan sedih sekali.

Huft. Segitu dulu, ya!
I hope my post kinda brings you there.
Salam,
Bella.

YGY #1: The Other Side of Jogja, Kaliurang

Yaaay akhirnya good mood meets spare time. Hah, Bella sungguh jahat. Ini sudah bulan Agustus, dan aku mau nyeritain pengalamanku waktu ke Jogja Awal Mei lalu. Like, awal banget.

1 Mei 2016, adalah tanggal dimana aku berangkat dari Solo, tepatnya dari Stasiun Purwosari untuk cuus ke Stasiun Yogyakarta yang seringkali disebut Stasiun Tugu.

Rencananya sih, aku naik kereta Prameks, yang harga naiknya cuma 8000,- Rupiah. Tapi ketika aku memesan tiket ke loket, aku nggak bilang Prameks, aku bilang kereta ke Jogja saja. Dan Mbaknya menunjuk ke peron, dimana sudah ada kereta yang nangkring, dan katanya, "Itu, keretanya sudah mau berangkat!"

Berhubung aku saat itu belum paham dan keburu-buru, aku langsung pesan tiketnya. Padahal, biayanya 20.000 rupiah. Huftz!

Later then, aku masih nggak tahu, kereta yang kunaiki itu kereta Joglokerto atau Lodaya. Jadi, panggil saja dia kereta misterius, ya.

Memang, bahan jok keretanya lebih bagus dari jok di kereta Prameks, yang rata rata bahannya kulit sintetis dan berwarna krem. Kereta misterius yang kunaiki jok kursinya dari beludru merah gitu, empuk dan bersih. Namun kenyamanannya dibandingkan dengan Prameks hanya beda tipiiiiiis, kok! Kadang, walau jarang sekali lho ya, Prameks lebih memiliki kemungkinan penundaan perjalanan.

Lama perjalanan sekitar satu jam lebih beberapa menit. Trus karena aku kurang tidur aku beneran bobo banget itu selama kereta berjalan.


Dengan berbekal tas bahu sebuah saja(bahkan aku gabawa tas pinggang), aku siap menuju Jogja!


Jadii aku rencananya mau langsung cus menuju tempat ibu guruku... Namanya Bu Ari.


Nah, Bu Ari tinggal di Kaliurang. And I had no idea, Kaliurang itu kayak mana. Kesananya gimana. Namun, Bu Ari menuntunku via sms how to get to Kaliurang by TransJogja.


FYI, takutnya belum tau, TransJogja itu ya cem TransJakarta. Bus milik pemerintah, gitu lho. Biayanya juga murah, cuma 3.500 rupiah jauh dekat.

Bangun-bangun, kereta sudah mau sampai dan aku langsung siap siap. Kalau nggak salah lagi, aku nyampai sekitar jam 7 pagi  gitu. Dan Stasiun Tugu udah ruameeee bangeeettt!


Stasiun Tugu di malam hari, diambil pada Agustus 2016. I know. So nostalgic.

Terus aku duduk dulu, sambil berbagi kegembiraan ke temen-temenku nun jauh disana. Pap sana, pap sini,  sambil lihat Google Map, ada apa aja sih dideket sini. And I was like finding "Pasar Kembang" thingy dan aku pengeeen banget kesana buat beli kembang buat Bu Ari. Hehe.

Aku pun keluar stasiun(which is cukup jauh bro) dan nemu booth pusat informasi gitu di deket pintu masuknya. Karena masih agak bingung, aku sekalian tanya-tanya dimana sih halte TransJogja terdekat. Ada beberapa orang didepanku yang juga lagi bertanya sama Mbak petugasnya dan Mbaknya helpful sekali. Tapi jujur, disitu aku agak ragu bertanya, duh, jadi ya nanyanya setengah-setengah dan alhasil rada rada nggak ngudheng gitu hahaha. Jangan ditiru yha.


Terus da aku jalan keluar lewat gerbang yang kenapa ya, kok kurang kelihatan seperti gerbang keluar gitu. Dan disitu para supir taksi dan mamang ojek sudah membuat kerumunan dan dengan ribut menawarkan jasa mereka. But I was (pretending to be) on the phone with my grandma, and as I expected, the crowds tend to let me go because I was busy calling. Yeap, itu jurus aku buat atasin para calo ataupun drivers yang langsung menyambut kita saat keluar dari stasiun, terminal, dsb dan maksa-maksa gitu. Tapi aku juga memastikan handphoneku nggak mudah direbut orang kok.

Jangan lupa ditambah wajah sumringah khas orang sudah hampir dapat bersua dengan handai taulan, plus ucapan cukup kencang, "Aku udah sampek, nih. Iya, he eeh! Kamu dimana? Loooh? Ish, ya udah deh... Iya, jalan nih! Udah diluar.. Jadi nanti aku belok mana? Kiri? Trus nyebrang?"

Ketika kamu bepergian sendiri dan kamu bukan orang lokal, serbuan para calo itu lumayan mengganggu, lho.


Keluar stasiun, aku menengok ke kanan ke kiri. It doesn't seems like there is any Pasar Bebungaan here? Aku kecewa. Kok gitu, ya?
Karena mengejar waktu, aku akhirnya ngejar yang pasti aja deh, halte Transjogja. Meski aku belum ngudheng itu dimana sih.


(Baru berbulan-bulan setelahnya, aku sadar kalau Pasar Kembang adalah nama JALAN dimana Stasiun Tugu berada. NAMA JALAN. Ha!)


Awyeah, budaya Jogja (yang kota loh ya) menurutku beda dengan Solo. Sekota-kotanya Solo, aku nggak pernah lho diusik di jalan. Padahal aku sering banget jalan kaki sendirian, menikmati pedestrian Kota Solo yang seringnya lovable banget. Rindang, jalannya mulus dan luas, nggak ada yang suit suit, manggil-manggil neng, dll. Aku bahkan nggak ingat pernah mendengar orang berteriak di jalanan Solo.


Tapi di Jogja bagian kota, ada. Dan cukup banyak. Ya Jogja memang lebih ramai dan lebih kaya pendatang dibandingkan dengan Solo yang adem tentrem.


(Btw, aku kan pernah ya bilang ke temanku yang orang Solo, bahwa orang Solo keknya lembut lembut banget ya, nggak bisa marah. Temenku yang haluus banget orangnya itu langsung masang muka datar dan bilang kalau aku nggak tahu aja. Orang Solo juga ada yang galak, kok.)

Aku ngelewatin Jl. Malioboro. Oh My, look at the famous green road sign, I'm in Jl. Malioboro tho!


Aku menyebrang ke kiri jalan, ke Stasiun Lempuyangan yang berada di depan jalan Malioboro. Elah, tau gitu gue turun situ aja dah.

(UPDATE: TERNYATA TEMPAT DI DEPAN MALIOBORO YANG AKU KIRA STASIUN LEMPUYANGAN DENGAN SOK TAHUNYA ITU adalah TAMAN PARKIR ABU BAKAR ALI. SO, Yang mau ke Malioboro, turun ya di Stasiun Tugu!)

Keheranan karena ga nemu-nemu yang namanya halte TransJogja, akhirnya aku nanya sama beberapa ibu-ibu yang lagi duduk. Mereka menunjukkan letak halte Transjogja yang ternyata, terletak di tengah-tengah jalan Malioboro! Astagaa...

Lalu akupun jalan ke haltenya, dan mencoba memahami peta yang ada sambil dicocok-cocokin sama teks dari Bu Ari dan tanya sama petugasnya yang juga pengertian, dan seems like I'm on the right track! Nanti aku perlu transit bus satu kali saja.


Dari peta di halte Trans itulah aku baru tahu bahwa Kaliurang itu ada di Jogja bagian atas, alias utara. Dan transnya tidak sampai ke Jalan Kaliurang, tapi sampai ke perempatan yang salah satu cabangnya ialah Jalan Kaliurang. Dan jalan itu, puanjangnyaaaa bukan maeeeen bo'.

Singkat cerita, sampailah aku di halte Kaliurang. Aku turun, dan jalan balik ke perempatan, terus nyusurin Jalan Kaliurang, sampai nemuin rumah makan di bagian kanan. Krucuk krucuk... da aku teh belum maem. Namanya RM Rata Rata apa something gituu, pokoknya inisialnya RR. Aku mampir dan pesen jus alpukat sambil cuci tangan disana, trus lihat google map. Btw, itu rumah makan hacep bener! Pilihan jusnya lengkap. Masih pagi padahal, tapi pengunjung udah banyak. Makanannya cem padang gitu, jadi cepat saji, tapi variannya jauuh lebih banyak.


Kata Bu Ari, aku turun di Pasar... Pasar... PASAR APAYA LUPAAA. Pokoknya aku disuruh turun disitu. Aku udah nemu lokasi ntu di google map dan woaaaah they look far away juga yah!


Oya, Pasar Pakem! Hehe. Trus aku nunguin tuh di RM RR, nunggu bus, angkot, atau mobil elf yang lewat. Buset kaga ada. Aku keluar tuh, nanya sama petugas parkirnya dan katanya, "Ada kok Mbak," trus aku pede aja deh jalan terus, habis cuaca mulai panas sekali... dan aku butuh tempat berteduh baru karena RM tadi rame, jadi ngga enak kalau cuma pesan jus tapi nongkrongnya lama.


Gila ini aku nungguin depan warnet yang tutup, kaga ada tuh satupun kendaraan umum yang lewat. Sama sekali.


Aku nemu tempat makan gado-gado gitu tapi aku lupa nama tokonya, semacam lotek apa apaaa gitu, huwa ini nih ruginya nggak nulis detail perjalanan di notes.


Disitu aku beli gado gado gitu satu karena takut laper, plus beli TAHU BASONYA yang enaaak banget! Petugasnya adalah mas-mas migran... dari kota sebelah tapi, hehe. Beliau baik sekali.

Brb nunggu angkutan.


Aku nunggu sampai setengah jam, ga ada yang lewat. Aku mluai resah. Si mas-mas menghiburku (dalam artian yang baik ya), soalnya aku ngeliatin jalan mulu dengan hopeless, hehehe... habis aku lupaa kalau TERNYATA AKU TUH GABAWA POWERBANK KE JOGJA! Aku meninggalkannya di Solo. Jadi aku nggak bisa main handphone karena takut baterainya habis di waktu penting.


"Biasanya banyak ini angkot lewat, ini kenapa ya." Kata si Mas, setelah satu jam berlalu. Setdah. Sepuluh menitan kemudian datang karyawan yang lain dan setengah jam kemudian datang bapak bapak pemilik tempat makan itu. Sang karyawan satu dan dua pun mundur, dan mereka pun beberes dan masak masak sambil dibimbing pak pemilik.


Selang lima belas menit kemudian, pluk... si Bapak Pemilik menaruh kursi di dekatku. Beliau mengajakku ngobrol. Beliau surprise saat tahu aku dari Banten dan agak ngotot menanyaiku soal pesantren di kaki gunung di Pandeglang. Sayaaang, aku tidak tahu.


Aku sudah menunggu sampai dua jam lebih, bro. Itu rekor banget buatku.


Dan akyu masih menunggu. Sekarang, ketiga orang itu ikut menunggui jalan bersamaku. Ih, so swit banget ga sih. :')


SAMPAI TIBA TIBA, JENGJENG, TAMPAKLAH MOBIL ELF YANG BERJALAN PELAN.

"ITU PAK?" Sambarku hampir tifak percaya.

"Iya, itu!" Beliau bangkit dan begitupun aku dan kami menyongsong elf itu dengan gembira dan lega, sementara aku segera masuk saat sudah memastikan elf ini akan melewati Pakem, dan si Bapak Pemilik berbicara sekilas dengan supirnya. Itu terjadi cepaaaat sekali! Elfnya pun langsung siap-siap berangkat lagi. Aku buru-buru berbalik badan dan yah, agak meneriakkan terima kasih begitu pada dua Mas baik hati dan Bapak Pemilik tempat makan yang sama baik hatinya.

Mereka membalas sambil tersenyum ramah, dan langsung kembali ke bagian tugas masing-masing, seolah tugas mereka menemaniku menunggu selama berjam-jam adalah hal kecil yang biasa saja. Seringan itu.
And I still remember how warm they respond to my too-short-thank-you-and-farewell and how genuine their smiles were.


Thank you, Jogja, for the kind and warm welcome.
See you in da next part yo! More pics in the next post btw.

Hugs,
Bella.

Popular Posts

Blogger templates

Powered by Blogger.