Thursday 25 August 2016

YGY #4 : Pengibaran di Tengah Laut, dan 136 Kilometres Spent Alone.

Iya, ini sudah tanggal 25 Agustus. Hehehe.

So, my dear fella, my day during the Indonesia’s Independence Day last week, was a mixed tape of curiosity, a bit of adrenaline(well, maybe a lot…), joy, and tears. 


No filter needed.


Jadi, pada tanggal 16 Agustus malam, aku nggak tahu besok mau ikut upacara pengibaran dimana. Tomorrow, I’ll be free from dawn to 3 PM, so, it would be such a regret if I didn’t attend any ceremony. Aku di Jogja dan nggak punya ide tempat mana yang upacara pengibarannya terbuka untuk umum. 

Tapi, aku pengen ikut banget. Aku kangen upacara bendera. Aku ingin denger pidato yang bikin hati nyes lagi. Huhu.

Jadi, aku searching, nanya ke teman-teman, kakak-kakak dan teman papahku. Teman Papahku memberitahu ada upacara di Istana Negara Yogyakarta—namun nggak terbuka untuk umum. MASA AKU CUMA BISA DENGER SUARANYA DARI TEMPAT PARKIR? Nooo way! So, aku cari info lagi di internet, dan aku coba kata kunci yang berbeda dan turns out aku nemu ini…





Like the only agenda I found.
Pantai Baron? Pengibaran bendera di tengah laut? Oh my God! Sounds like my kind of thingy! 

Dan orang umum boleh ikut berenang ke tengah lautnya, mengiringi pasukan pengibar bendera? Oh my God…! It must be a sign!
 

Katanya, registrasi peserta dibuka sejak jam enam hingga jam setengah sembilan pagi. Nah, sebelum lihat lokasi di google map karena nggak punya clue itu tempat dimana, aku tanya ke kakak angkatanku, 

“kak, ini jauh sekali ga sih?”  
 dan dia jawab, “itu jauuuuuh, bel. *nangis*”


Hmm. Aku gantian nanya ke tante aku. Katanya,  
“nggak jauh, nggak dekat.” Dan aku memutuskan untuk berpegang pada kalimat ini, hahaha.

Ketika aku cari di google map, ternyata jaraknya 63 kilometer dari tempatku. LIKE WHAT?! *nangis beneran* it must be a very crazy idea to go there. 

Katanya, aku butuh waktu satu jam 47 menit kesana. But you know, it's tricky, it's almost always impossible buat nyamain waktu tempuh dengan yang dikatakan google map. It means, aku harus berangkat pagi sekali bahkan habis subuh jika ingin mengejar registrasi… 

Kemudian, aku cari teman… but turns out nobody can accompany me :( Well there is one, tapi dia baru ada paket pada siang hari, jadi dia telat baca pesanku. I know. I know. Huft.


Aku melihat kata Wonosari di salah satu dari tiga pilihan jalan yang bisa aku lalui, dan kebetulan seorang temanku asli sana. So I asked him and he suggested me to go through Wonosari. Okay, I’ll take that. 

So… 63 kilometer through places I haven’t even heard before? 

Huh... for any sake, my Mama and Papa wouldn’t let me. *sigh* but if I come out with a news for koranrumahdunia.net … aha, won’t it make Papa happy? Teehe… let’s make it a surprise!

Aku tidak bawa powerbank, dan kuota juga tipis seperti helaian tisu. Maka aku beli kuota lima ratus megabyte, menyiapkan baju ganti, buku pelajaran (karena pulangnya langsung belajar), alat mandi, handuk, sunblock, etc. 

Ya Tuhan, aku bahkan nggak bawa jaket dan celana training! The only available pants I got is just jegging! How am I supposed to swim? Huhu. *teteppacking*

Well, I'll go at five past 20. So I make sure everything was packed perfectly, I have listed the navigation google map gave me, I have memorised the turns, the road’s name, the patokan I could hang on… and I go to sleep, even though I found it was hard. I wish my Mama’s prayers will accompany me unlimitedly. Even thou she didn’t know. Huft.


At 4.30, in Jogja it’s already azan. I woke up and without taking a shower, I pray. It takes me until 5.16. Untuk keridhaan, keselamatan, keberkahan, hikmah dari perjalanan, dan jangan sampai aku melukai satu binatang pun. Hazek yaw.

Then I exchange my pajamas into three layer of clothes (no jacket I bring, remember!) and without drinking even a drop of water(I know, so bad), I’m ready to go!

BUT THEN LIKE I CAN’T FIND ONE ESSENTIAL THING. It was my motorbike’s key. Oops, haven’t I told you that I was going to ride my motorbike, ya? Well, now you know.

I look for it anywhere in my room. Aku geser lemari, aku angkat kasur, tiap helai baju aku kibas-kibasin… but it’s lost. It was the first time I lost it. Ini pasti kualat karena nggak izin.
Sampai jam 5.45, aku masih belum menemukannya. Itu akudah hampir desperate.

Then something crossed in my mind, maybe it’s in the lounge. But I didn’t even stop there to have a drink when I come home at night? But let’s give it a try.

So I went there and it’s there, my key, existing peacefully on the lounge’s table. Like, how could you, argh, forget it...
So in a rush, I go!

( My darling, later then I found that after Subuh, it was a bad time to hit the road. Especially if I’m going to Wonosari. My friends and my teacher said that there may be begal. So… it was God’s hands that take very good care of me in a way I could never imagine. Ah. )


So for short, the road was not empty nor crowded during the big road, so I had no problem there. But after I went to enter the road leading to Wonosari… the road was like a mixed shape of punuk unta, ular, perosotan, dan what else ya, I forget. Plus, haze. Kabut. Like oh my God. I was terrified because itu jalanan gunung sekali. Ya Allah, Pak Rossi hebat sekali ya. Oh my my my.


 Foto diambil saat jalanan landai.


Kiri pepohonan, kanan you know lah… agak-agak jurang gitu. Tapi jalanannya mulus, syukurlah. Huft. Sering sekali saking jalanannya naik-turun aku nggak bisa lihat jalan/kendaraan didepanku. 

Aku jadi selalu keingetan cerita Papah tentang temannya semasa muda, yang meninggal karena tertabrak truk. Saat itu, almarhum tengah ramai-ramai momotoran sama teman-teman satu komunitasnya di jalan gunung aka puncak or bandung, then tahu-tahu muncul truk… na’udzubillah. 


There are times I have to stop and ask the locals, or (not oftenly) check the map. Karena mengambil handphone, buka kunci dan cek google map itu agak ribet, jadi aku lebih sering Tanya ke orang lokal.


But just so you know, nggak semua orang dapat menunjukkan jalan dengan terang. *Hazek.* Jadi suatu saat, setelah sebuah perempatan dan aku memilih lurus, ada keinginan untuk nanya ke orang. Sekitar tiga ratus meter setelahnya, ada Mbak-mbak. Aku Tanya ke Mbaknya, Pantai Baron dimana ya Mbak? Lalu, dia menjawab dengan ribeeeut, aku sampai bingung. Ya udah, aku cek di google map, dan ternyata aku tinggal putar arah, kembali ke perempatan itu dan belok kanan. (Tapi dari situ masih ja-uuuh-lagi sih.) Haah! Beberapa kali aku mengalami hal ini.

Btw, aku dua kali tersesat cause I'm not good at reading maps. Hehe.

Nah, you can see the one I mark with pink shade. Itu saat aku nyasar.


But just so you know, jalanannya indah sekali. Perjalanan dengan pemandangan paling indah yang pernah aku lewati. Indeed, man. Karena sejak perempatan itu, hari mulai siang, dan sudah tidak ada kabut lagi. Kamu tahu golden hour, kan? Wah, aku serasa di jepang waktu itu. Banyak pohon-pohon guede berjejeran dengan indahnya. Aduh ah, pengen foto gapunya temen, huhu.

Ya sudah, ceritanya di jok belakang sekarang duduk seorang ibu—pedagang di Pantai Baron yang kutemui di tengah jalan. Aku menanyakan jalan padanya dan turns out ibu itu ikut, deh.

“Stop, Mbak!”
“Sudah sampai, Bu?”
“Udah!”
Nyes. I made it?

OMG SO HERE I AM IN PANTAI BARON!

Pantai Baron sudah ramai! Aku menanyakan dimana gedung SAR, lalu aku kesana, dan yhaq sudah ramai sekali.



 Ada tiga meja registrasi, satu untuk peserta yang ikut berenang, satu untuk peserta yang mengikuti di pesisir pantai, satu lagi untuk penyewaan pelampung. Aku mendaftar di meja pertama, dan pergi ke meja penyewaan pelampung, yang ternyata sudah habis. Yha. Berarti aku hanya bisa mengikuti dari lapangan, dong? :< 

 
Kemudian, aku pergi ke kamar mandi dan mandi.

Ketika selesai, aku kembali ke meja registrasi, menanyakan jam berapa harus berkumpul. Lalu, mas-mas dari meja penyewaan pelampung yang berbaju tentara memanggilku. Aku menghampirinya. “Nabila, kamu dari Banten, ya?”

Ternyata si Mas-mas itu baru datang dari Jakarta. Namun sebenarnya dia orang Jogja, pun berkuliah di UAD (Universitas Ahmad Dahlan). Ia menanyakan plat motorku, apakah AB? Tidak, kataku, lalu dia berguyon. Lucu juga. Namanya Mas Giofani. 

Beliau kaget katanya, saat tahu aku sendiri kesini. Sama kok, aku juga kaget. 

Lalu, Mas Gio menyarankanku untuk mencoba ke gedung SAR yang ramai sekali itu dan meminjam satu pelampung dari sana, siapa tahu ada. Namun ketika aku baru sampai ke pintu gedung, tahu-tahu Mas Giofani sudah di belakangku dan memberiku rompi. Yay! Thank you Mas’e!


So I came back to the penyewaan pelampung tents, dan Mas Giofani menyarankanku untuk naik perahu saja, karena aku naik motor, kalau ikut berenang takut aku terlalu capek buat mengendarai motor pulang. Apalagi saat ia tahu aku mau motrat-motret dan memang sudah motrat-motret banyak sekali. That was right, batinku. Apalagi saat kulihat kenyataannya, dua ratus meter ke tengah laut… lumayan juga. Hehehe. I haven’t thank you so epicly much, Mas Gio! 

Mas Giofani, if you saw this, please contact mee. You haven't take your pics from my phone. It's still there :'D

Kemudian, para peserta upacara berkumpul di depan gedung SAR. Disana, seorang pemimpin dari SAR memberikan arahan yang penting sekali untuk kami ketahui.




Kemudian, setelah arahan selesai, aku ke pantai, memotret para petugas upacara di pesisir pantai yang sedang bersiap-siap.





Lalu, Mas Giofani mengajakku caw ke perahu. Aku ditempatkan di atas perahu bersama dua orang nelayan, namanya Pak Kustamin kalau tidak salah, lalu Mas Ketut, dan seorang wartawan dari Klaten, kalau tidak salah namanya Pak Nus. Hanya dua orang peliput yang boleh naik ke satu perahu. Karena, jika ada peserta yang ikut berenang ke tengah laut yang kelelahan atau kenapa-kenapa, mereka akan dinaikkan ke atas perahu ini. 

Oh iya, ternyata ya, acara Upacara Pengibaran di Tengah Laut ini wajib diikuti oleh perwakilan dari para nelayan dan pedagang setempat! Di pesisir pantai, masuk rombongan marching band dari sekolah dasar lengkap dengan kostum, ramai sekali. Belum lagi rombongan dari SMK Kesehatan dan SMA 7 kalau tidak salah, yang memang menjadi salah satu petugas upacara. Dan lagi ada pasukan tentara gitu.

Tempat upacara di pesisir pantai untuk perwakilan dari para pedagang.


Upacara Pengibaran di Tengah Laut ini sudah pernah dilaksanakan di tahun 2015, dan tahun ini adalah tahun kedua dilaksanakannya. Me so grateful can attend this. Huhu. 

“Ketika Proklamasi Kemerdekaan mulai dibacakan, tolong perahu mulai didorong, ya, Pak!” 

 Pinta seorang Bapak lantang-lantang, pada para nelayan. Aku ingiiiiin sekali ikut mendorong perahu, apalagi perahu yang berat itu hanya didorong dua orang nelayan! Kan kasihan. Tapi setelah dipikir-pikir, aku nggak tahu dorongnya bagaimana dan kemana, dan aku nggak membungkus handphoneku dengan plastik seperti para nelayan, aku tidak ikutan, deh.

Teman-teman, ombak yang tadinya kecil-kecil, mulai besar-besar. Jadi tinggiii… sekali. Ya Allah, ketika perahu mulai didorong oleh Bapak dan Mas Nelayan itu, lalu perahu mulai masuk ke air dan melawan ombak dan angin, itu terasa sekali kemegahan alamnya. 

Mas Ketut. (Bukan orang Bali.)

Pak Nelayan yang sudah 26 tahun menjadi nelayan.

 Mas-mas yang bantu dorong perahu.


Pantai Baron berbentuk seperti ceruk, di kanan-kirinya dataran tinggi dengan semak-semak dan pepohonan yang hijau dan sejuuk sekali dilihatnya. Sementara bagian bawahnya, terukir berbagai macam lekukan yang… apa ya, magis, begitu? Hahaha.

Mercusuar putih menjulang di kiri. Aku yang ketakutan, hehehe, karena ombaknya bagiku tinggiii, secara refleks menyebut puji-pujian. Antara takut tapi lebih karena kagum. Pemandangan yang terbentang di sekelilingku indah sekali.
Mas Ketut sang nelayan muda berkulit kecoklatan dan sorot mata tajam (Hazek.), berdiri di moncong perahu, serius sekali melihat ke depan. Aku dan Pak  Nus berpegangan pada samping perahu sambil menjaga barang elektronik kami dari cipratan air.



 
Ombaque.

Akhirnya, mesin dimatikan. Perahu kami bersama perahu-perahu lain dan beberapa speedboat, terayun-ayun di tengah laut.

Aku mendengar pelaksanaan upacara dari pesisir pantai. Lalu, dibacakanlah Pancasila. Dan sila kelima, membuatku termenung.

"Lima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Yang mana belum tercapai. Bahkan kadang, dikhianati. Kami sengaja melaksanakan ketidakadilan sosial itu bagi manusia lain.

That was deep.


Itu dulu, ya. Ya, ceritanya memang cukup panjang.
Salam pengembaraan (HAZEEEEEK),
 
Bella.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Powered by Blogger.